Malam itu, sunyi. Mungkin hanya perasaan Zaa saja atau apalah tepatnya. Entahlah. Tapi, memang dapat dipastikan tak ada suara lain malam itu kecuali suara jarum jam yang terus menerus berdetak memutari poros waktu menandakan masa yang terus berlalu. Sedangkan nyanyian binatang-binatang malam itu akhirnya terkadang justru terdengar begitu merdu dan menenangkan.
Malam kian larut, namun nampaknya, Zaa bahkan belum diserang rasa kantuk sedikitpun. Jam berbentuk persegi dengan motif berwarna biru klasik itu sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB. Kamarnya terasa begitu terang malam ini. Persis menerangi pikirannya yang berkelana entah ke mana di tengah gelap gulitanya malam itu. Jauh, jauh, dan jauh pergi ke mana, ia bahkan tak mampu lagi mengendalikannya.
Cat yang berwarna biru langit itu semakin menambah terangnya kamar yang sekarang ia tempati. Cat biru dengan motif awan di langit-langit ruangannya Entah mengapa ia begitu menyukai segala sesuatu dengan warna biru, kecuali dalam hal pakaian. Ia justru lebih memilih pakaian berwarna gelap daripada warna mencolok seperti biru misalnya. Biru yang menenangkan.
Ia kemudian bangkit dari kasurnya, mendekati jendela kamarnya, sekedar ingin melihat suasana malam itu. Bintang-gemintang menghambur di langit raya sana. Ingin ia petik satu tuk temaninya malam itu. Sang bulanpun sedang purnama rupanya. Indahhh sekali. Ingin ia terus pandangi mereka, rasakan agung maha karya lukisan alam Sang Pencipta. namun nampaknya udara mulai tidak bersahabat. Dingin yang dirasa malam itu bahkan kian menusuk hingga ke tulang. Begitu mencekam. Zaa menarik nafas panjang, dihembuskannya pelan. Badannya mulai menggigil, hingga akhirnya mulai disibakkannya kain gorden jendelanya yang sebelumnya memang ia buka itu. Setidaknya sedikit mengurangi rasa dingin udara malam itu. Brrrr...
************************************
Khansa Qurratu’ain Nisa. Lebih akrab dipanggil Khansa, atau sekedar Zaa. Entahlah kenapa dan sejak kapan kemudian namanya akrab dipanggil Zaa. Setahu Zaa itu adalah panggilan sayang dari ibunya untuknya, tapi kemudian diikuti oleh anggota keluarganya yang lain dan juga teman-temannya. Entahlah. Syaza, seorang gadis remaja yang kini mulai beranjak dewasa. Umurnya masih 17 tahun, diapun masih berstatus sebagai seorang pelajar. Namun, di usianya yang masih muda itu, di tengah kelabilan emosi yang ia miliki, di tengah gejolak jiwa remajanya itu, ia telah berani untuk meng-azzamkan dirinya di jalan dakwah. Iapun telah bertekad untuk benar-benar berubah. Dan memang, semua itu telah ia mulai lakukan.
Ia kini bahkan tak begitu memperdulikan apa kata teman-temannya terhadapnya. Walaupun banyak teman-temannya yang menyayangkan akan perubahan pada dirinya. Namun Zaa tak begitu ambil pusing. Ia hanya berfikir,”Ah, mungkin itu karena mereka belum tau saja.” dan Ia pun tahu, kini tugasnyalah untuk memberitahukan kepada mereka tentang indah, mulia, dan bahagianya menjadi seorang wanita muslimah yang shalihah seperti yang selama ini ia mimpikan itu. Ya, menjadi wanita muslimah yang shalihah, itu mimpinya. Dan kelak suatu saat nanti ia pasti bisa dan memang harus bisa mewujudkannya. Insya Allah.
*************************************
Zaa kini beranjak dari jendela menuju kursi belajar yang terletak di salah satu sudut kamarnya itu. Meja belajar yang juga bersampul biru muda itu kini menjadi tempat pelampiasannya. Ia mulai mengambil pena dan sebuah buku berwarna biru muda dengan senyum Doraemon, kartun kegemarannya, yang menjadi covernya. Ia mulai mencoba untuk menuliskan sesuatu. Dan emosinya, mulai bermain di sana. Penanya menari dan terus menari, menuliskan setiap apa yang melintas di kepalanya. Hingga tak terasa 2 lembar sudah ia menghabiskan kertas itu untuk hanya menulis bersama emosinya
Setelah dirasa cukup, Ia menutup buku-bukunya dan mulai merapihkan kembali meja belajarnya, Zaa kini beranjak menuju tempat tidurnya. Tak terlalu besar memang, namun cukup untuk membuat Zaa tenang dan nyaman di atasnya. Dengan bertemankan senandung Izzis, Ia mulai merebahkan dirinya. Sang Murabbi mengalun merdu penuh semangat. Dan epilog lagu itu, kini membuatnya merinding.
”Selayaknya, bagi jiwa-jiwa yang mengazzamkan dirinya di jalan ini,
menjadikan dakwah sebagai laku utama.
Dialah visi, dialah misi, dialah obsesi, dialah yang menggelayuti di setiap desah nafas.
Dialah yang akan menghantarkan jiwa-jiwa ini kepada ridha dan maghfirah Tuhannya kelak.”
Entah mengapa, ada sebuah rasa yang bahkan Zaa sendiripun tiada tahu rasa apa itu, yang selalu mengusiknya tiap kali ia mendengar lagu itu. Tapi, satu hal yang pasti yang ia tau. Ia ingin mempunyai semangat dakwah seperti mereka. Seperti yang bagaimana lagu itu menggambarkannya.
Dengan berbantalkan lipatan tangannya, ia mulai menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya berkelana jauh dan semakin dalam. Pikirannya kini merubah langit-langit ruangannya kini menjadi sebuah layar besar. Hiasan biru yang menggantung indah itu mengingatkannya akan sesuatu. Dan kini ia benar-benar terhanyut oleh jalan pikirannya sendiri.
Kejadian tadi pagi bersama amplop putih tersimpul pita biru di salah satu ujungnya. Cantik sekali.
*****************************************
Pagi yang cerah. Zaa baru saja merapikan kamarnya ketika kemudian ia mendengar ucapan salam dari kajauhan di pintu rumahnya. Sepertinya ia mengenali pemilik suara itu.
”Assalamu’alaikum!”
”Wa’alaikumussalam warahmatullahiwabarakatuh!” suara Ibu terdengar menyahut dari balik dapur menuju pintu. ”Eh! Ada nak Rini! Mari Nak, masuk!” sahut Ibu Hanifah, ibunda Syaza, sambil membukakan pintu.
”Zaanya ada, Bu?”
”Oh, ada! Mari masuk dulu! Zaa masih di kamarnya, Nak!” sahut Ibu.
Seseorang yang bernama Rini itupun akhirnya masuk sembari tersenyum dan menundukkan kecil kepalanya ke arah Ibu Hanifah. Ia dibimbing menuju kamar Zaa. Walaupun sebenarnya ini bukan kali pertamanya datang, dan tentu ia telah menghafal setiap liku dari rumah ini, dan dapat dipastikan ia takkan tersesat jikalau dibiarkan masuk sendiri. Tapi, ia hanya menurut saja sembari menjawab pertanyaan yang sesekali diajukan oleh Ibu Hanifah sekitar kabarnya dan kabar orang tuanya. Ia ditemani memasuki lorong demi lorong rumah itu, hingga akhirnya mereka sampai di depan sebuah ruangan yang pintunya berwarna biru muda dengan tanaman menjalar sebagai lukisan penghiasnya.
Ibu Hanifah kemudian pamit untuk melanjutkan acara masak-mamasaknya. Ia hanya mengangguk menjawab ia seraya tak lupa mengucap terimakasih pada Bu Hanifah.
Tok... Tok... Tok...
”Assalamu’alaikum!”
”Wa’alaikumussalam!” Suara yang kian mendekat terdengar dari balik pintu. ”Eh, Teh Rini! Ada apa Teh, kok tumben pagi-pagi udah mampir? Maaf ya, aku baru beres-beres kamar.” Sahut Zaa sambil bersalaman dan memeluk hangat sebagai sambutan pagi pada Teh Rini. Setelah itu ia hanya terlihat cengengesan tidak karuan, sedangkan Teh Rini hanya memandangnya dan tersenyum. Senyum yang teduh dan teramat meneduhkan. Ingin rasanya ia meminjam senyum itu, senyum yang bahkan mungkin mampu tuk meredam amarah dan membangkitkan semangat seseorang yang sedang jatuh.
****************************************
Teh Rini, seseorang yang Zaa kenal di acara rohis sekolah. Begitu baik padanya, dan memperkenalkannya pada indah agungnya Islam. Sebuah penjelasan yang sangat mengagumkan tentang kesempurnaan Islam pernah pula Zaa terima dari Teh Rini. Hingga akhirnya membuat Zaa yakin dan mantap hati tentang mengapa ia harus bergabung dalam barisan dakwah ini.
Teh Rini pula yang kemudian menjadi motivator pribadi setia bagi Zaa. Zaa masih terlalu labil untuk dibiarkan berjalan sendiri, dan mungkin hal ini benar disadari oleh Teh Rini. Hingga ia tak pernah bosan dengan sabarnya memberikan Zaa semangat dan menasihatinya. Kasih sayang yang tulus itulah yang akhirnya mampu menggetarkan dan membuat Zaa bangkit.
Zaa terus belajar dan belajar. Belajar tentang bagaimana hidup dan kehidupan ini. Belajar tentang bagaimana memperdalam tsaqofah yang ia miliki. Dan Teh Rini adalah sosok yang begitu ia kagumi. Dan Zaa bersyukur dipertemukan dengannya, ia masih dianugerahi saudari seperti Teh Rini yang mampu menguatkannya saat ia mulai rapuh karena kelabilannya, yang mampu membantu mambuka mata dan hatinya dengan kondisi sekitarnya, yang mampu mengajarkannya tentang arti hidup ini, tentang ketegaran dan keistiqomahan hati agar selalu terpaut kepada-Nya, hari ini, esok, dan seterusnya. Insya Allah.
***********************************************
”Zaa? Anti gak apa kan, sayang?” Tanya Teh Rini cemas kepadaku. Sepertinya ia melihat gelagat anehku tadi. Gelagat kekagumanku padanya. J
”Hah! Ehm! Oh! Hhehe. Ia, gak apa kok Teh. Aku gak kenapa-kenapa.” sahutku celingukan. Aku akhirnya merasa salah tingkah sendiri. ”Loh! Astaghfirullahal’adzim! Sampai lupa, mari, masuk dulu, Teh!”. Lamunannya tadi benar-benar terbuyarkan kini. Tapi, kebuyaran itu tetap tak mengurangi kekagumannya pada sosok yang satu ini, yang kini berdiri di hadapannya.
”Oh! Syukurlah. Teteh kira tadi anti kenapa-kenapa, terdiam berdiri terpaku. Hayooo! Lagi mikirin apa?” Canda Teh Rini.
”Ih! Apaan sih Teh, gak ada apa-apa kok.” Sahut Zaa tersipu malu.
Zaa segera menutup pintu kamarnya sesaat setelah Teh Rini benar-benar telah masuk dan berjalan menuju kasur empuk satu-satunya miliknya itu. Kamarnya memang tak terlalu besar, hanya ukuran sederhana yang muat untuk satu tempat tidur, satu lemari pakaian, satu meja belajar, dan satu rak buku. Jelas, tak ada kursi khusus tamu di sana, namun benarlah mungkin orang bilang kalau kekreativitasan itu lahir dari adanya keterbatasan. Tak ada kursi tamu, kasurpun jadi. Benar-benar kreatif.
Kini, mereka sudah duduk bersebelahan. Hening sejenak, ketika kemudian Zaa melihat Teh Rini sibuk mengobrak-abrik isi tas coklatnya. Sepertinya ia sedang mencari sesuatu.
”Ada apa, Teh?” Tanya Zaa yang berinisiatif membantu. Namun, belum terlaksana niat tulusnya itu. Teh Rini segera menyahutnya.
”Oh, gak apa kok Dek! Udah ketemu. Ini!” Sahut Teh Rini seraya menyodorkan sesuatu. Zaa memandanginya. Lama. Secarik amplop berwarna putih polos yang berhiaskan pita biru di salah satu sudutnya. Pita itu benar-benar tersimpul dengan indahnya. Cantikk sekali. Seolah menandakan ketulusan sang pemberinya.
”Ini teh buat Saya?” Tanya Zaa setengah tak percaya.
”Loh! Memangnya Teteh tadi bilang ini buat anti ya?” sahut Teh Rini yang kemudian juga memupuskan harapan dan kebahagiaan Zaa saat itu.
”Huuffft!” Dengus Zaa tampak kecewa. Dan tampaknya Teh Rini tersenyum simpul mengetahui hal itu. ”Tapi, itu buat ukhtiku Khansa Qurratu’ain Nisa.” Lanjut Teh Rini tiba-tiba dan tak ketinggalan dengan senyum manisnya yang terekah indah dari wajahnya. Sontak Zaa kaget ketika namanya disebut oleh Teh Rini sebagai orang penerima amplop cantik itu.
”Beneran, Teh? Teteh lagi gak becanda kan?” tanyanya masih dengan nada yang kurang yakin.
”Gak mau nih? Kalau gak mau sih, ya gak apa-apa. Teteh masukin dalam tas lagi.” sahut Teh Rini dengan gayanya yang pura-pura ngambek.
”Eits! Jangan lah Teh, aku mau kok. Hhehe.” Zaa hanya mampu tersipu malu mendapat surat cantik itu, apalagi surat itu dari Teh Rini, seseorang yang begitu ia kagumi. Ia begitu penasaran dengan isinya.
”Boleh Zaa baca sekarang ga, Teh?”
”Yah, masa baca surat cinta pas di depan orangnya sih? Nanti kan jadi ga seru.” Akhirnya Zaa nurut dan tersenyum manja pada Teh Rini.
”Yaudah Dek! Teteh cuma mau ngasi itu aja ke anti. Hari Sabtu besok bisa, kan?” kata Teh Rini seraya berdiri merapihkan jilbabnya.
”Ia, insya Allah, Teh kalau engga ada halangan.”
”Teteh pamit dulu ya Dek! Ibu anti di mana?”
”Ia Teh, jazakillah khair ya atas suratnya. Ibu ada kok, di dapur mungkin. Sebentar ya dipanggilin dulu.” Jawabku sambil membuka pintu kamar.
”Engga Dek, Teteh ikut aja deh ke dapur.”
Teh Rini berjalan membuntut di belakang Zaa. Sesampainya di dapur, Ibu Hanifah tampak sedang memasak sesuatu. Tumis kangkung kayaknya. Wangi masakannya sudah tercium sebelum Zaa dan Teh Rini benar-benar sampai di dapur.
”Assalamu’alaikum, Ibu!!!!” Sapa Zaa manja pada ibunya. Ia datang sembari memeluk dari belakang ibunya yang sedang memasak itu. Ibu Hanifah membalikkan wajahnya dan tersenyum pada putri tersayangnya itu. Ia mengecup sayang pipi Zaa.
”Wa’alaikumussalam. Ada apa nih? Putri Ibu yang cantik ini kok tumben ke dapur?” Ibu Hanifah kembali melanjutkan memasak.
”Yee! Biasanya kan Zaa juga yang bantuin Ibu masak.” Pipi Zaa tiba-tiba merah menahan malu. Sementara Teh Rini yang menyaksikan itu semua hanya tersenyum simpul. Senyum yang meneduhkan.
”Bu! Ini Teh Rini mau pamit sama Ibu katanya.”
”Oh! Nak Rini mau langsung pulang? Gak mau nyoba masakan Ibu dulu ya?”
”Ia Bu, masakan Ibu sudah tercium dari ruang sebelah kok Bu.” Teh Rini menjawabnya dengan santun. ”Tapi, maaf Bu. Kebetulan setelah ini saya sudah ada acara juga. Mungkin lain kali bisa ngincip masakan Zaa langsung. Ia kan Zaa?” lanjut Teh Rini seraya melirik ke arah Zaa. Yang dilirik hanya tersenyum sembari tertunduk malu.
”Mari Bu, Saya pulang dulu ya.” Teh Rini pamit menyalami Ibu Hanifah.
”Hati-hati ya, Nak! Nanti kapan-kapan main ke sini lagi ya!” Nasihat Ibu.
”Ia Bu. Insya Allah. Mari Bu. Assalamu’alaikum!”
”Wa’alaikumusslam.” Ibu melepas kepergian Zaa dan Teh Rini hingga mereka menghilang di balik tembok. Dan beliaupun melanjutkan kembali acara masak-memasaknya.
******************************************************
Zaa turut mengantar Teh Rini hingga di depan pintu. Ke luar rumahnya, setelah sebelumnya ia kenakan seperangkat pakaian ”kebesarannya” yakni jilbab dan kerudung juga kaus kaki sekenanya.
”Teteh pamit dulu ya, Dek! Assalamu’alaikum!”
”Wa’alaikumussalam. Hati-hati ya Teh! Nanti kapan-kapan main lagi ya, ditunggu Loh!” Teriakku polos dan lagi-lagi teh Rini menjawabnya dengan senyuman. Entah apa artinya.
Sejurus kemudian Teh Rini yang mengendarai motor itupun lenyap di balik tikungan jalan. Zaa bergegas menuju kamarnya. Surat dari Teh Rini itu.
Surat yang kata Teh Rini adalah surat cinta itu beramplop warna putih dengan simpul pita biru di salah satu ujungnya. Cantik sekali. Dan surat itu kini sudah berada di genggaman tangannya. Dilihat dan dibolak-baliknya surat itu. Zaa mulai membuka dan membacanya.
”Judul yang indah.” Gumam Zaa pada dirinya sendiri. Dan senyumnya mengembang tanpa perlu dikomando.
Surat Cinta Untukmu yang Tercinta, ukhtiku:
Khansa Qurratu’ain Nisa.
Tiba-tiba mata ini penuh dengan genangan air mata.
Tak terelakkan
Berjatuhan dengan derasnya
Entahlah tentang apa yang kupikirkan
Gejolak perasaan seorang manusia
Hati yang penuh rasa menyesal
Yang gelisah terhadap apa yang telah ia perbuat
Karena waktu yang tersia takkan mampu untuk terulang
Puisi pengawal surat dari Teh Rini. Puisi yang indah. ”Astaghfirullahal’adzim.” Zaa bergumam dalam kesendiriannya. Berdoa ia dalam hati agar ia tak tergolong sebagai orang-orang yang menyia-nyiakan waktunya. Sejenak ia tarik nafasnya dalam, dan ia keluarkan secara perlahan.
Zaa terus melanjutkan kegiatan membacanya. Dari kata, kalimat, hingga per paragrafnya. Semua ia baca, tak satupun yang ia lewatkan. Sepertinya ia begitu meresapi isi surat itu. Berulang kali air matanya terlihat ingin keluar, berulang kali pula ia berusaha menahannya. Berulang kali itu pula ia mencoba untuk menyekanya. Hingga kemudian ia sampai di penghujung surat itu.
Insya Allah ukhuwah ini terjalin atas dasar mencari keridha-an-Nya
Semoga kita bisa bersama-sama untuk bisa saling menguatkan
Untuk bisa saling menangguhkan
Untuk terus mengepakkan sayap di jalan ini
Di jalan yang Allah ridhai kita untuk melaluinya.
Aminn
”Amin. Allahumma amin.” Ucap Zaa lirih. Dan kini, setelah ia baca surat itu secara keseluruhan, ia tak sanggup lagi menahannya. Air matanya kini tak mau diajak kompromi lagi. Semakin ia membaca, semakin ia resapi, semakin deras air matanya mengalir. Muhasabah cinta.
Diambilnya pena dan selembar kertas. Dalam lirihnya, ia menulis.
Pintaku ukhti...
Gandenglah diriku saat diri ini mulai lelah
Jangan biarkan diri ini berkeluh kesah untuk hal yang sia-sia
Jangan biarkan kaki ini diam,
Sementara kaki langkahmu sudah jauh ke depan
Jangan pernah lelah untuk memberikan muhasabah cinta kepada diri ini
Ajari aku untuk menjadi akhwat tangguh seperti dirimu...
********************************************************
Teng..... Teng.... Teng.... Jam dinding di ruang tengah itu sepertinya telah mencoba membuyarkanku dari semua lamunanku tadi. Jam dinding itu telah berbunyi dua belas kali. Itu artinya sekarang adalah pukul 00.00 WIB.
Surat cinta dari Teh Rini itu rupanya masih membayang-bayangiku. Kejadian kemarin pagi itu bahkan masih teramat jelas tergambar di benak seorang Khansa, bahkan sampai sekarang. Karena mungkin itu akan menjadi surat pertama sekaligus terakhir dari Teh Rini. Tepat di hari yang sama di sore harinya ia mendapat kabar dari Teh Rini bahwa ia sebentar lagi akan pergi. Ya! Pergi ke tempat yang sangat tidak bisa dibilang dekat, walaupun masih dalam ruang lingkup Indonesia. Sulawesi.
Santer memang akan kabar yang sekarang beredar atas undangan yang disebar oleh Teh Rini. Undangan perkawinannya yang insya Allah akan dilaksanakan lima hari lagi dengan seorang ikhwan yang berasal dari Sulawesi dan mendapat beasiswa s2 yang sedang melakukan penelitian di Bekasi. Dan ketika penelitiannya selesai, maka pulanglah ia ke Sulawesi. Dan kepulangannya itu adalah tepat 3hari setelah hari pernikahan mereka.
Zaa sendiri akhirnya bingung. Antara bahagia dan sedih. Bahagia karena orang yang selama ini begitu ia kagumi dan ia cintai itu kini telah menemukan kebahagiaannya dengan menemukan jodohnya, namun sedih karena setelah itu berarti Teh Rini harus segera pergi demi berbakti pada suaminya.
Sudahlah. Bukan saatnya untuk kemudian berlaku egois. Pergi ia ke mushalla di rumahnya. Mengambil air wudhu dan shalat dua rakaat. Dalam doanya ia bermunajat pada Allah mengucap syukur atas karunia teman sekaligus saudari yang selalu mampu mengingatkan dan menguatkannya di setiap rapuh yang ia alami dan di setiap lalai yang ia lakukan. Bersyukur atas nikmat ukhuwah yang indah ini. Karena sesungguhnya kelak di hari kiamat kita akan bersama-sama dengan orang-orang yang kita sayangi di dunia. Dan sungguh bahagia ketika orang-orang yang kita sayangi itu adalah orang-orang yang senantiasa berusaha mendekatkan diri mereka kepada Allah.
”Dan sungguh tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mampu mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.”
”Dan dua orang yang saling mencintai karena Allah dan karena mengharap ridha dari Allah, maka Allah akan kumpulkan mereka kelak di hari akhir.”
Dan tak lupa dalam doanya, Zaa berharap antara dia dan Teh Rini dan semua teman-teman satu perjuangan dalam memperjuangkan Islam selalu diberikan keistiqamahan dan keteguhan hati dalam meretas dan berjalan di jalan ini. Dalam melakukan transaksi ini. Amin.
Teruntuk: seseorang yang telah memberitahuku tentang kekuatan cinta. Begitu sabar menghadapiku dengan segala keanehan yang kulakukan. J. Tapi, tenanglah, karena aku akan terus belajar dan belajar, menjadi seseorang yang lebih baik di setiap hari yang kulalui. Insya Allah. Dan kepada dia yang telah memberikanku the Power of Love. Kepadanya kuucap rasa terimakasihku. Dan kepada-Nya kuucap rasa syukur yang dalam atas segala nikmat yang telah diberikan. Tentang indahnya ukhuwah, bahagianya sehat, dan yang terpenting atas nikmat iman dan islam.
Malang, 06 Februari 2011.
Siti Khadijah Nur Maryam, 05:27 WIB<!--[if gte mso 9]> Malam itu, sunyi. Mungkin hanya perasaan Zaa saja atau apalah tepatnya. Entahlah. Tapi, memang dapat dipastikan tak ada suara lain malam itu kecuali suara jarum jam yang terus menerus berdetak memutari poros waktu menandakan masa yang terus berlalu. Sedangkan nyanyian binatang-binatang malam itu akhirnya terkadang justru terdengar begitu merdu dan menenangkan. Malam kian larut, namun nampaknya, Zaa bahkan belum diserang rasa kantuk sedikitpun. Jam berbentuk persegi dengan motif berwarna biru klasik itu sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB. Kamarnya terasa begitu terang malam ini. Persis menerangi pikirannya yang berkelana entah ke mana di tengah gelap gulitanya malam itu. Jauh, jauh, dan jauh pergi ke mana, ia bahkan tak mampu lagi mengendalikannya. Cat yang berwarna biru langit itu semakin menambah terangnya kamar yang sekarang ia tempati. Cat biru dengan motif awan di langit-langit ruangannya Entah mengapa ia begitu menyukai segala sesuatu dengan warna biru, kecuali dalam hal pakaian. Ia justru lebih memilih pakaian berwarna gelap daripada warna mencolok seperti biru misalnya. Biru yang menenangkan. Ia kemudian bangkit dari kasurnya, mendekati jendela kamarnya, sekedar ingin melihat suasana malam itu. Bintang-gemintang menghambur di langit raya sana. Ingin ia petik satu tuk temaninya malam itu. Sang bulanpun sedang purnama rupanya. Indahhh sekali. Ingin ia terus pandangi mereka, rasakan agung maha karya lukisan alam Sang Pencipta. namun nampaknya udara mulai tidak bersahabat. Dingin yang dirasa malam itu bahkan kian menusuk hingga ke tulang. Begitu mencekam. Zaa menarik nafas panjang, dihembuskannya pelan. Badannya mulai menggigil, hingga akhirnya mulai disibakkannya kain gorden jendelanya yang sebelumnya memang ia buka itu. Setidaknya sedikit mengurangi rasa dingin udara malam itu. Brrrr... ************************************ Khansa Qurratu’ain Nisa. Lebih akrab dipanggil Khansa, atau sekedar Zaa. Entahlah kenapa dan sejak kapan kemudian namanya akrab dipanggil Zaa. Setahu Zaa itu adalah panggilan sayang dari ibunya untuknya, tapi kemudian diikuti oleh anggota keluarganya yang lain dan juga teman-temannya. Entahlah. Syaza, seorang gadis remaja yang kini mulai beranjak dewasa. Umurnya masih 17 tahun, diapun masih berstatus sebagai seorang pelajar. Namun, di usianya yang masih muda itu, di tengah kelabilan emosi yang ia miliki, di tengah gejolak jiwa remajanya itu, ia telah berani untuk meng-azzamkan dirinya di jalan dakwah. Iapun telah bertekad untuk benar-benar berubah. Dan memang, semua itu telah ia mulai lakukan. Ia kini bahkan tak begitu memperdulikan apa kata teman-temannya terhadapnya. Walaupun banyak teman-temannya yang menyayangkan akan perubahan pada dirinya. Namun Zaa tak begitu ambil pusing. Ia hanya berfikir,”Ah, mungkin itu karena mereka belum tau saja.” dan Ia pun tahu, kini tugasnyalah untuk memberitahukan kepada mereka tentang indah, mulia, dan bahagianya menjadi seorang wanita muslimah yang shalihah seperti yang selama ini ia mimpikan itu. Ya, menjadi wanita muslimah yang shalihah, itu mimpinya. Dan kelak suatu saat nanti ia pasti bisa dan memang harus bisa mewujudkannya. Insya Allah. ************************************* Zaa kini beranjak dari jendela menuju kursi belajar yang terletak di salah satu sudut kamarnya itu. Meja belajar yang juga bersampul biru muda itu kini menjadi tempat pelampiasannya. Ia mulai mengambil pena dan sebuah buku berwarna biru muda dengan senyum Doraemon, kartun kegemarannya, yang menjadi covernya. Ia mulai mencoba untuk menuliskan sesuatu. Dan emosinya, mulai bermain di sana. Penanya menari dan terus menari, menuliskan setiap apa yang melintas di kepalanya. Hingga tak terasa 2 lembar sudah ia menghabiskan kertas itu untuk hanya menulis bersama emosinya Setelah dirasa cukup, Ia menutup buku-bukunya dan mulai merapihkan kembali meja belajarnya, Zaa kini beranjak menuju tempat tidurnya. Tak terlalu besar memang, namun cukup untuk membuat Zaa tenang dan nyaman di atasnya. Dengan bertemankan senandung Izzis, Ia mulai merebahkan dirinya. Sang Murabbi mengalun merdu penuh semangat. Dan epilog lagu itu, kini membuatnya merinding. ”Selayaknya, bagi jiwa-jiwa yang mengazzamkan dirinya di jalan ini, menjadikan dakwah sebagai laku utama. Dialah visi, dialah misi, dialah obsesi, dialah yang menggelayuti di setiap desah nafas. Dialah yang akan menghantarkan jiwa-jiwa ini kepada ridha dan maghfirah Tuhannya kelak.” Entah mengapa, ada sebuah rasa yang bahkan Zaa sendiripun tiada tahu rasa apa itu, yang selalu mengusiknya tiap kali ia mendengar lagu itu. Tapi, satu hal yang pasti yang ia tau. Ia ingin mempunyai semangat dakwah seperti mereka. Seperti yang bagaimana lagu itu menggambarkannya. Dengan berbantalkan lipatan tangannya, ia mulai menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya berkelana jauh dan semakin dalam. Pikirannya kini merubah langit-langit ruangannya kini menjadi sebuah layar besar. Hiasan biru yang menggantung indah itu mengingatkannya akan sesuatu. Dan kini ia benar-benar terhanyut oleh jalan pikirannya sendiri. Kejadian tadi pagi bersama amplop putih tersimpul pita biru di salah satu ujungnya. Cantik sekali. ***************************************** Pagi yang cerah. Zaa baru saja merapikan kamarnya ketika kemudian ia mendengar ucapan salam dari kajauhan di pintu rumahnya. Sepertinya ia mengenali pemilik suara itu. ”Assalamu’alaikum!” ”Wa’alaikumussalam warahmatullahiwabarakatuh!” suara Ibu terdengar menyahut dari balik dapur menuju pintu. ”Eh! Ada nak Rini! Mari Nak, masuk!” sahut Ibu Hanifah, ibunda Syaza, sambil membukakan pintu. ”Zaanya ada, Bu?” ”Oh, ada! Mari masuk dulu! Zaa masih di kamarnya, Nak!” sahut Ibu. Seseorang yang bernama Rini itupun akhirnya masuk sembari tersenyum dan menundukkan kecil kepalanya ke arah Ibu Hanifah. Ia dibimbing menuju kamar Zaa. Walaupun sebenarnya ini bukan kali pertamanya datang, dan tentu ia telah menghafal setiap liku dari rumah ini, dan dapat dipastikan ia takkan tersesat jikalau dibiarkan masuk sendiri. Tapi, ia hanya menurut saja sembari menjawab pertanyaan yang sesekali diajukan oleh Ibu Hanifah sekitar kabarnya dan kabar orang tuanya. Ia ditemani memasuki lorong demi lorong rumah itu, hingga akhirnya mereka sampai di depan sebuah ruangan yang pintunya berwarna biru muda dengan tanaman menjalar sebagai lukisan penghiasnya. Ibu Hanifah kemudian pamit untuk melanjutkan acara masak-mamasaknya. Ia hanya mengangguk menjawab ia seraya tak lupa mengucap terimakasih pada Bu Hanifah. Tok... Tok... Tok... ”Assalamu’alaikum!” ”Wa’alaikumussalam!” Suara yang kian mendekat terdengar dari balik pintu. ”Eh, Teh Rini! Ada apa Teh, kok tumben pagi-pagi udah mampir? Maaf ya, aku baru beres-beres kamar.” Sahut Zaa sambil bersalaman dan memeluk hangat sebagai sambutan pagi pada Teh Rini. Setelah itu ia hanya terlihat cengengesan tidak karuan, sedangkan Teh Rini hanya memandangnya dan tersenyum. Senyum yang teduh dan teramat meneduhkan. Ingin rasanya ia meminjam senyum itu, senyum yang bahkan mungkin mampu tuk meredam amarah dan membangkitkan semangat seseorang yang sedang jatuh. **************************************** Teh Rini, seseorang yang Zaa kenal di acara rohis sekolah. Begitu baik padanya, dan memperkenalkannya pada indah agungnya Islam. Sebuah penjelasan yang sangat mengagumkan tentang kesempurnaan Islam pernah pula Zaa terima dari Teh Rini. Hingga akhirnya membuat Zaa yakin dan mantap hati tentang mengapa ia harus bergabung dalam barisan dakwah ini. Teh Rini pula yang kemudian menjadi motivator pribadi setia bagi Zaa. Zaa masih terlalu labil untuk dibiarkan berjalan sendiri, dan mungkin hal ini benar disadari oleh Teh Rini. Hingga ia tak pernah bosan dengan sabarnya memberikan Zaa semangat dan menasihatinya. Kasih sayang yang tulus itulah yang akhirnya mampu menggetarkan dan membuat Zaa bangkit. Zaa terus belajar dan belajar. Belajar tentang bagaimana hidup dan kehidupan ini. Belajar tentang bagaimana memperdalam tsaqofah yang ia miliki. Dan Teh Rini adalah sosok yang begitu ia kagumi. Dan Zaa bersyukur dipertemukan dengannya, ia masih dianugerahi saudari seperti Teh Rini yang mampu menguatkannya saat ia mulai rapuh karena kelabilannya, yang mampu membantu mambuka mata dan hatinya dengan kondisi sekitarnya, yang mampu mengajarkannya tentang arti hidup ini, tentang ketegaran dan keistiqomahan hati agar selalu terpaut kepada-Nya, hari ini, esok, dan seterusnya. Insya Allah. *********************************************** ”Zaa? Anti gak apa kan, sayang?” Tanya Teh Rini cemas kepadaku. Sepertinya ia melihat gelagat anehku tadi. Gelagat kekagumanku padanya. J ”Hah! Ehm! Oh! Hhehe. Ia, gak apa kok Teh. Aku gak kenapa-kenapa.” sahutku celingukan. Aku akhirnya merasa salah tingkah sendiri. ”Loh! Astaghfirullahal’adzim! Sampai lupa, mari, masuk dulu, Teh!”. Lamunannya tadi benar-benar terbuyarkan kini. Tapi, kebuyaran itu tetap tak mengurangi kekagumannya pada sosok yang satu ini, yang kini berdiri di hadapannya. ”Oh! Syukurlah. Teteh kira tadi anti kenapa-kenapa, terdiam berdiri terpaku. Hayooo! Lagi mikirin apa?” Canda Teh Rini. ”Ih! Apaan sih Teh, gak ada apa-apa kok.” Sahut Zaa tersipu malu. Zaa segera menutup pintu kamarnya sesaat setelah Teh Rini benar-benar telah masuk dan berjalan menuju kasur empuk satu-satunya miliknya itu. Kamarnya memang tak terlalu besar, hanya ukuran sederhana yang muat untuk satu tempat tidur, satu lemari pakaian, satu meja belajar, dan satu rak buku. Jelas, tak ada kursi khusus tamu di sana, namun benarlah mungkin orang bilang kalau kekreativitasan itu lahir dari adanya keterbatasan. Tak ada kursi tamu, kasurpun jadi. Benar-benar kreatif. Kini, mereka sudah duduk bersebelahan. Hening sejenak, ketika kemudian Zaa melihat Teh Rini sibuk mengobrak-abrik isi tas coklatnya. Sepertinya ia sedang mencari sesuatu. ”Ada apa, Teh?” Tanya Zaa yang berinisiatif membantu. Namun, belum terlaksana niat tulusnya itu. Teh Rini segera menyahutnya. ”Oh, gak apa kok Dek! Udah ketemu. Ini!” Sahut Teh Rini seraya menyodorkan sesuatu. Zaa memandanginya. Lama. Secarik amplop berwarna putih polos yang berhiaskan pita biru di salah satu sudutnya. Pita itu benar-benar tersimpul dengan indahnya. Cantikk sekali. Seolah menandakan ketulusan sang pemberinya. ”Ini teh buat Saya?” Tanya Zaa setengah tak percaya. ”Loh! Memangnya Teteh tadi bilang ini buat anti ya?” sahut Teh Rini yang kemudian juga memupuskan harapan dan kebahagiaan Zaa saat itu. ”Huuffft!” Dengus Zaa tampak kecewa. Dan tampaknya Teh Rini tersenyum simpul mengetahui hal itu. ”Tapi, itu buat ukhtiku Khansa Qurratu’ain Nisa.” Lanjut Teh Rini tiba-tiba dan tak ketinggalan dengan senyum manisnya yang terekah indah dari wajahnya. Sontak Zaa kaget ketika namanya disebut oleh Teh Rini sebagai orang penerima amplop cantik itu. ”Beneran, Teh? Teteh lagi gak becanda kan?” tanyanya masih dengan nada yang kurang yakin. ”Gak mau nih? Kalau gak mau sih, ya gak apa-apa. Teteh masukin dalam tas lagi.” sahut Teh Rini dengan gayanya yang pura-pura ngambek. ”Eits! Jangan lah Teh, aku mau kok. Hhehe.” Zaa hanya mampu tersipu malu mendapat surat cantik itu, apalagi surat itu dari Teh Rini, seseorang yang begitu ia kagumi. Ia begitu penasaran dengan isinya. ”Boleh Zaa baca sekarang ga, Teh?” ”Yah, masa baca surat cinta pas di depan orangnya sih? Nanti kan jadi ga seru.” Akhirnya Zaa nurut dan tersenyum manja pada Teh Rini. ”Yaudah Dek! Teteh cuma mau ngasi itu aja ke anti. Hari Sabtu besok bisa, kan?” kata Teh Rini seraya berdiri merapihkan jilbabnya. ”Ia, insya Allah, Teh kalau engga ada halangan.” ”Teteh pamit dulu ya Dek! Ibu anti di mana?” ”Ia Teh, jazakillah khair ya atas suratnya. Ibu ada kok, di dapur mungkin. Sebentar ya dipanggilin dulu.” Jawabku sambil membuka pintu kamar. ”Engga Dek, Teteh ikut aja deh ke dapur.” Teh Rini berjalan membuntut di belakang Zaa. Sesampainya di dapur, Ibu Hanifah tampak sedang memasak sesuatu. Tumis kangkung kayaknya. Wangi masakannya sudah tercium sebelum Zaa dan Teh Rini benar-benar sampai di dapur. ”Assalamu’alaikum, Ibu!!!!” Sapa Zaa manja pada ibunya. Ia datang sembari memeluk dari belakang ibunya yang sedang memasak itu. Ibu Hanifah membalikkan wajahnya dan tersenyum pada putri tersayangnya itu. Ia mengecup sayang pipi Zaa. ”Wa’alaikumussalam. Ada apa nih? Putri Ibu yang cantik ini kok tumben ke dapur?” Ibu Hanifah kembali melanjutkan memasak. ”Yee! Biasanya kan Zaa juga yang bantuin Ibu masak.” Pipi Zaa tiba-tiba merah menahan malu. Sementara Teh Rini yang menyaksikan itu semua hanya tersenyum simpul. Senyum yang meneduhkan. ”Bu! Ini Teh Rini mau pamit sama Ibu katanya.” ”Oh! Nak Rini mau langsung pulang? Gak mau nyoba masakan Ibu dulu ya?” ”Ia Bu, masakan Ibu sudah tercium dari ruang sebelah kok Bu.” Teh Rini menjawabnya dengan santun. ”Tapi, maaf Bu. Kebetulan setelah ini saya sudah ada acara juga. Mungkin lain kali bisa ngincip masakan Zaa langsung. Ia kan Zaa?” lanjut Teh Rini seraya melirik ke arah Zaa. Yang dilirik hanya tersenyum sembari tertunduk malu. ”Mari Bu, Saya pulang dulu ya.” Teh Rini pamit menyalami Ibu Hanifah. ”Hati-hati ya, Nak! Nanti kapan-kapan main ke sini lagi ya!” Nasihat Ibu. ”Ia Bu. Insya Allah. Mari Bu. Assalamu’alaikum!” ”Wa’alaikumusslam.” Ibu melepas kepergian Zaa dan Teh Rini hingga mereka menghilang di balik tembok. Dan beliaupun melanjutkan kembali acara masak-memasaknya. ****************************************************** Zaa turut mengantar Teh Rini hingga di depan pintu. Ke luar rumahnya, setelah sebelumnya ia kenakan seperangkat pakaian ”kebesarannya” yakni jilbab dan kerudung juga kaus kaki sekenanya. ”Teteh pamit dulu ya, Dek! Assalamu’alaikum!” ”Wa’alaikumussalam. Hati-hati ya Teh! Nanti kapan-kapan main lagi ya, ditunggu Loh!” Teriakku polos dan lagi-lagi teh Rini menjawabnya dengan senyuman. Entah apa artinya. Sejurus kemudian Teh Rini yang mengendarai motor itupun lenyap di balik tikungan jalan. Zaa bergegas menuju kamarnya. Surat dari Teh Rini itu. Surat yang kata Teh Rini adalah surat cinta itu beramplop warna putih dengan simpul pita biru di salah satu ujungnya. Cantik sekali. Dan surat itu kini sudah berada di genggaman tangannya. Dilihat dan dibolak-baliknya surat itu. Zaa mulai membuka dan membacanya. ”Judul yang indah.” Gumam Zaa pada dirinya sendiri. Dan senyumnya mengembang tanpa perlu dikomando. Surat Cinta Untukmu yang Tercinta, ukhtiku: Khansa Qurratu’ain Nisa. Tiba-tiba mata ini penuh dengan genangan air mata. Tak terelakkan Berjatuhan dengan derasnya Entahlah tentang apa yang kupikirkan Gejolak perasaan seorang manusia Hati yang penuh rasa menyesal Yang gelisah terhadap apa yang telah ia perbuat Karena waktu yang tersia takkan mampu untuk terulang Puisi pengawal surat dari Teh Rini. Puisi yang indah. ”Astaghfirullahal’adzim.” Zaa bergumam dalam kesendiriannya. Berdoa ia dalam hati agar ia tak tergolong sebagai orang-orang yang menyia-nyiakan waktunya. Sejenak ia tarik nafasnya dalam, dan ia keluarkan secara perlahan. Zaa terus melanjutkan kegiatan membacanya. Dari kata, kalimat, hingga per paragrafnya. Semua ia baca, tak satupun yang ia lewatkan. Sepertinya ia begitu meresapi isi surat itu. Berulang kali air matanya terlihat ingin keluar, berulang kali pula ia berusaha menahannya. Berulang kali itu pula ia mencoba untuk menyekanya. Hingga kemudian ia sampai di penghujung surat itu. Insya Allah ukhuwah ini terjalin atas dasar mencari keridha-an-Nya Semoga kita bisa bersama-sama untuk bisa saling menguatkan Untuk bisa saling menangguhkan Untuk terus mengepakkan sayap di jalan ini Di jalan yang Allah ridhai kita untuk melaluinya. Aminn ”Amin. Allahumma amin.” Ucap Zaa lirih. Dan kini, setelah ia baca surat itu secara keseluruhan, ia tak sanggup lagi menahannya. Air matanya kini tak mau diajak kompromi lagi. Semakin ia membaca, semakin ia resapi, semakin deras air matanya mengalir. Muhasabah cinta. Diambilnya pena dan selembar kertas. Dalam lirihnya, ia menulis. Pintaku ukhti... Gandenglah diriku saat diri ini mulai lelah Jangan biarkan diri ini berkeluh kesah untuk hal yang sia-sia Jangan biarkan kaki ini diam, Sementara kaki langkahmu sudah jauh ke depan Jangan pernah lelah untuk memberikan muhasabah cinta kepada diri ini Ajari aku untuk menjadi akhwat tangguh seperti dirimu... ******************************************************** Teng..... Teng.... Teng.... Jam dinding di ruang tengah itu sepertinya telah mencoba membuyarkanku dari semua lamunanku tadi. Jam dinding itu telah berbunyi dua belas kali. Itu artinya sekarang adalah pukul 00.00 WIB. Surat cinta dari Teh Rini itu rupanya masih membayang-bayangiku. Kejadian kemarin pagi itu bahkan masih teramat jelas tergambar di benak seorang Khansa, bahkan sampai sekarang. Karena mungkin itu akan menjadi surat pertama sekaligus terakhir dari Teh Rini. Tepat di hari yang sama di sore harinya ia mendapat kabar dari Teh Rini bahwa ia sebentar lagi akan pergi. Ya! Pergi ke tempat yang sangat tidak bisa dibilang dekat, walaupun masih dalam ruang lingkup Indonesia. Sulawesi. Santer memang akan kabar yang sekarang beredar atas undangan yang disebar oleh Teh Rini. Undangan perkawinannya yang insya Allah akan dilaksanakan lima hari lagi dengan seorang ikhwan yang berasal dari Sulawesi dan mendapat beasiswa s2 yang sedang melakukan penelitian di Bekasi. Dan ketika penelitiannya selesai, maka pulanglah ia ke Sulawesi. Dan kepulangannya itu adalah tepat 3hari setelah hari pernikahan mereka. Zaa sendiri akhirnya bingung. Antara bahagia dan sedih. Bahagia karena orang yang selama ini begitu ia kagumi dan ia cintai itu kini telah menemukan kebahagiaannya dengan menemukan jodohnya, namun sedih karena setelah itu berarti Teh Rini harus segera pergi demi berbakti pada suaminya. Sudahlah. Bukan saatnya untuk kemudian berlaku egois. Pergi ia ke mushalla di rumahnya. Mengambil air wudhu dan shalat dua rakaat. Dalam doanya ia bermunajat pada Allah mengucap syukur atas karunia teman sekaligus saudari yang selalu mampu mengingatkan dan menguatkannya di setiap rapuh yang ia alami dan di setiap lalai yang ia lakukan. Bersyukur atas nikmat ukhuwah yang indah ini. Karena sesungguhnya kelak di hari kiamat kita akan bersama-sama dengan orang-orang yang kita sayangi di dunia. Dan sungguh bahagia ketika orang-orang yang kita sayangi itu adalah orang-orang yang senantiasa berusaha mendekatkan diri mereka kepada Allah. ”Dan sungguh tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mampu mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” ”Dan dua orang yang saling mencintai karena Allah dan karena mengharap ridha dari Allah, maka Allah akan kumpulkan mereka kelak di hari akhir.” Dan tak lupa dalam doanya, Zaa berharap antara dia dan Teh Rini dan semua teman-teman satu perjuangan dalam memperjuangkan Islam selalu diberikan keistiqamahan dan keteguhan hati dalam meretas dan berjalan di jalan ini. Dalam melakukan transaksi ini. Amin. Teruntuk: seseorang yang telah memberitahuku tentang kekuatan cinta. Begitu sabar menghadapiku dengan segala keanehan yang kulakukan. J. Tapi, tenanglah, karena aku akan terus belajar dan belajar, menjadi seseorang yang lebih baik di setiap hari yang kulalui. Insya Allah. Dan kepada dia yang telah memberikanku the Power of Love. Kepadanya kuucap rasa terimakasihku. Dan kepada-Nya kuucap rasa syukur yang dalam atas segala nikmat yang telah diberikan. Tentang indahnya ukhuwah, bahagianya sehat, dan yang terpenting atas nikmat iman dan islam. Malang, 06 Februari 2011. Siti Khadijah Nur Maryam, 05:27 WIB