sedikit pelajaran dari sebuah "sinetron"

Hari yang cukup melelahkan. Setelah setengah harian berkutat di ruang serba guna sekolah demi mempersiapkan untuk pameran besok. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang lebih awal. Ya! Pameran sekolah. Kegiatan tahunan yang diadakan untuk menampilkan karya-karya seni, baik berupa kaligrafi, hiasan-hiasan dinding, hingga tempat barang serba guna yang kesemuanya itu adalah hasil olahan dari tangan-tangan kreatif siswa/siswi kelas Xll.

Sesampainya di rumah, seraya mengusir penat yang ada saya menghidupkkan pesawat televisi. Ada berita, tapi lagi-lagi masih seputaran markus-markus itu. Entah kapan negara ini bisa damai, jika akar dari masalah itu sendiri tak pernah diberantas tuntas. Apalagi kalau bukan dengan penggantian rezim mengganti sistem yang ada (kapitalis.red) dengan sistem Islam. Tak berapa lama, comercial break muncul, malas liatd iklan-iklan itu, sayapun mulai mencari channel yang lain. Dan pencarian itu terhenti pada sebuah stasiun televisi swasta. Hmm, sinetron sih. Tapi, entah mengapa saya tetap berhenti di sana, ada yang beda.

Tak seperti sinetron-sinetron biasanya yang lebih mendominasikan tentang cinta-cinta monyet (cinta sama monyet kaleee, , :p). sinetron yang berjudul “Tante, I’m sorry” ini mengisahkan tentang seorang adik dari seorang kakak yang sudah meninggal. Di mana sang kakak meninggalkan seorang suami dan 3 orang anak perempuannya (SMP, SMA, dan mahasiswi) yang bahkan bisa dibilang bandel. Dan pesan sang kakak sebelum meninggal adalah agar sang adik mau merawat dan menjaga anak-anaknya. Begitulah, dan pada akhirnya inilah tantangan sang Tante tadi, bagaimana ia bisa merubah 3 orang anak gadis kakaknya itu dari yang bandel menjadi baik dan penurut.

Sebenarnya, sayapun termasuk orang yang tidak setuju dengan kehadiran sinetron-sinetron saat ini. Terlalu banyak mudharat yang pada akhirnya kita dapatkan daripada manfaatnya, begitulah pikir saya. Dan bahkan tak jarang yang justru tak ada manfaatnya sama sekali. Tema yang diambilpun seragam, yakni percintaan (kayak gag ada tema lain ajja). Sehingga jangankan mendidik, tayangan-tayangan itu justru menjerumuskan. Dan benar saja. Mari kita tengok keadaan remaja kita saat ini. Dari cara mereka berpakaian, bergaul, dan berbicarapun bahkan sudah mulai ke-barat-baratan. Dan sinetron-sinetron itu punya andil besar akan kerusakan-kerusakan yang terjadi. Mereka tak lagi dapat mencerminkan jiwa seorang remaja Islam yang ber-IMTAQ dan ber-IPTEK. Lalu, bagaimana nasib bangsa ini, kalau ternyata generasi penerusnya seperti ini. ? wallahu’alam. Oleh karenanya, berhati-hatilah anda saat menghidupkan pesawat televisi, karena yang namanya sinetron perusak moral anak bangsa itu akan selalu menghantui anda di setiap saat anda menghidupkan layar televisi. Carilah acara yang jauh lebih mampu memberikan wawasan bagi anda. Atau kalau tidak, MATIKANLAH!

Kembali ke pembahasan awal. Entah mengapa saat itu saya benar-benar melihat ada yang berbeda dari sinetron ini. Baiklah, sebenarnya tidak ada alasan lain yang bisa saya utarakan selain karena sisi psikologi yang saya lihat dari sinetron tadi. Hmm, entah mengapa saya begitu tertarik untuk mendalami dan mempelajari lebih lanjut cabang ilmu yang satu ini. Cita-cita sewaktu kecil mungkin :p. Tapi benarlah mungkin pendapat sebagian orang yang mengatakan “ Man supposed, Allah disposed” . Tapi, semua itu tetap saja tak akan mampu menghilangkan rasa ketertarikan saya pada ilmu yang satu ini. Dan sinetron yang berjudul “Tante, I’m sorry” inipun demikian, ada aspek psikologi yang ia tonjolkan. Dan alhamdulillah dari sinetron inipun ada beberapa pelajaran penting yang akhirnya berhasil saya dapatkan untuk dapat menjadi orangtua, khususnya seorang ibu yang insya Allah baik, yakni antara lain:
• Konsekuen
Jadilah ibu yang konsekuen. Yaitu ketika sebuah kesepakatan sudah disepakati, maka patuhilah dan laksanakanlah. Apapun yang terjadi selama kesepakatan itu masih berlaku. Jangan longgar terhadap peraturan yang sudah disepakati bersama!
• Kasih Sayang
Anak-anak itu masih belum mampu membedakan antara yang baik dan buruk dengan benar. Jadi, jangan lantas memarahinya saat ia berbuat kesalahan. Tapi, tnyakanlah terlebih dahulu mengapa ia berbuat demikian. Karena boleh jadi ia bertindak demikian karena ia memang belum mengetahui bahawa itu tidak boleh. Baru kemudian nasihatilah ia dengan cara yang ahsan.
Sedangkan untuk remaja adalah saat di mana terjadinya berbgai gejolak dan pertentangan ini dan itu. Jiwanya pun masih teramat labil. Di usia yang demikian inipun ia masih mencari yang namanya kebenaran. Dan cara yang insya Allah tepat itu adalah dengan melakukan pendekatan terhadapnya. Jadikan diri kita (orantua) sebagai temannya. Masalah itu lebih baik didiskusikan untuk mencari pemecahannya. Dan, tetaplah nasihati ia dengan kasih sayang dan kelembutan.
• Jangan langsung men-judge anak salah
Ketika seorang anak berbuat salah/nakal, jangan lantas langsung menyalahkan diri sang anak. Karena mungkin sesuai pula dengan Hk. Newton III yang mengatakan di mana setiap ada aksi maka akan ada reaksi. Dan sikap nakal anak itu mungkin adalah reaksi yang anak berikan atas kemungkinan kesalahan sikap dari orangtua.
Saya dapat ini dari potongan isi sinetron, yakni pada pengakuan Adelia. Seorang siswi SMA yang tiba-tiba jadi gemar berkelahi semenjak ibunya meninggal. Ia bahkan tak tahu mengapa ia berubah dan tak pernah menginginkan perubahan ini terjadi pada dirinya. Tapi, satu yang ia benar-benar tahu dan yakin, kalau papanya itu terlalu sibuk, sedang ia butuh kasih sayang dan perhatian.
• Hati-hati menghadapi anak-anak dan remaja, karena mereka adalah peniru yang baik. Dan, 1 contoh itu jauh lebih baik daripada 1000 nasihat.
• Yang paling penting dan utama, yang mungkin juga kuncinya adalah niat yang benar-benar tulus untuk merubah dan menjadikan anak-anak menjadi lebih baik dan kemuadian sabar serta diiringi do’a selalu pada Allah agar dapat dimudahkan segala sesuatunya.

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari).

Anak-anak harus dididik, tapi mereka juga perlu diberi kesempatan untuk mendidik diri mereka sendiri. – Abde Dimnet –

Oya, ! Saya juga mungkin andapun demikian pernah berfikir dan bertanya-tanya. Mengapa terkadang kita melihat seorang anak yang seolah-olah mempunyai dua kepribadian sekaligus? Maksud saya begini. Anak tersebut memperlakukan orang-orang di sekitarnya secara berbeda, ketika ia berada di luar rumah, ia dikenal sebagai seorang yang santun, pandai bergaul, juga periang, tapi, ketika ia di dalam rumah, ia justru dikenal sebaliknya, mukanya begitu masam, pendiam, bahkan terkadang cenderung brutal. Atau dengan keadaan yang sebaliknya.
Pertanyaan macam ini pernah mengendap beberapa lamanya di dalam benak alam pikir saya, hingga akhirnya alhamdulillah pada suatu hari di sebuah majalah saya mendapatkan jawabannya.
Mengutip dari pernyataan seorang psikolog yang bernama Henni yang menyatakan bahwa kemungkinan yang mungkin untuk masalah di atas adalah karena sang anak kehilangan figur seorang bapak/ibu/kakak/adik di rumahnya dan ternyata ia justru menemukan figur itu di lingkungan di luar rumahnya.

“Bila figur itu tidak didapatkan, maka mereka berusaha menekan keinginannya sedemikian rupa di alam bawah sadarnya. Di saat mereka sedang menyimpan/menekan keinginannya tersebut, tiba-tiba di luar kesadarannya, lingkungan keluarga melakukan tindakan-tindakan yang membuat mereka tidak nyaman. Sehingga tekanan yang tersimpan menjadi menumpuk, dan lama-kelamaan akan keluar luapan emosi yang disebut tantrum. Dalam kondisi ini, anak cenderung berperilaku liar dan terus menerus melakukan hal yang sama bila merasakan dirinya tidak nyaman.” Ujar Henni

Terlepas itu semua, saya yakin setiap anak itu unik, setiap anak itu diciptakan berbeda. Jadi, jangan pernah menggeneralisir mereka. 

Ya! Itulah sedikit ilmu yang alhamdulillah bisa saya dapatkan dan bagi bersama. Mohon maaf kalau masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam hal penulisan atau penyampaian. Saran dan kritiknya ditunggu. Kalau ada yang mau menambahkan tips-tips lain, dipersilahkan saja. 


With love,
Siti Khadijah Nur Maryam

21 April 2010 :: 05:27 WITA ::

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan dan kekasih kita, Rasulullah, keluarga beserta para sahabat beliau, shalallahu 'alaihi wasalam. Al-Qur'an adalah kalam (firman) Allah. Keutamaannya atas segala perkataan seperti keutamaan Allah atas seluruh makhluk-Nya. Membacanya adalah amalan yang paling utama dilakukan oleh lisan...Al-Khaththabi mengatakan: "Disebutkan dalam atsar bahwa jumlah ayat al-Qur'an adalah sesuai dengan jumlah tingkatan dalam surga. Dikatakan kepada pembaca (al-Qur'an), 'Naiklah dalam tingkatan sesuai dengan ayat al-Qur'an yang sebelumnya kamu baca (di dunia).' Karena itu siapa yang membaca dengan sempurna seluruhnya al-Qur'an, maka ia menempati tingkatan surga yang paling atas di akhirat. Sedang siapa yang membaca sesuatu juz darinya, maka kenaikannya dalam tingkatan surga sesuai dengan bacaannya itu. Dengan demikian, akhir pahalanya adalah pada akhir bacaannya.