Antara Sastra dan Dakwah


Cobalah untuk mencintai sastra.
Bukankah sastra itu indah.
Kenapa tidak kau buat sastra itu menjadi lebih islami dan ideologis, ??
Bila kau sanggup, haruskah kau kotakkan kemampuanmu, ?
Bukankah sastra ideologis itu sebuah ide yang brilliant, ?
Bukankah dakwah akan selalu menjadi poros kehidupan kita, ?
Bukankah segala sesuatu itu bisa menjadi sarana kita dalam berdakwah, ?
Agar Islam dapat tersebar luas di penjuru dunia, ??
Lalu, mengapa kita hanya berdiam diri dan monoton terhadap cara, ?
Karena Diam itu BUKAN Solusi, Teman !!!!

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Seorang Diri berjalan. Pelan dan teramat pelan. Hingga perubahan itu tak nyata terlihat dalam ayunan kakinya dalam melangkah. Atau mungkin ia hanya berdiam diri? Atau sedang mundurkah ia? Banyak orang di sekelilingnya memandangnya dengan penuh rasa keanehan. Namun ada juga yang berusaha menyemangatinya, dan tak sedikit pula yang menertawakannya. Setiap orang akan memiliki pandangannya tersendiri. Tak terkecuali dirimu, Teman! Apa pendapatmu tentangnya?

Hufft, , kuyakin ia kini kehilangan sedikit bagian dalam hatinya. Hilang. Terluka. Tergores oleh…. Entahlah! Apapun itu kalian menyebutnya. Tapi, entah mengapa aku begitu yakin ia sedang terluka.

Diri itu. Dan kali ini ia terlihat nyata berhenti. Mengamati sekeliling, mendesah ia dalam sunyi. Terlihat sendiri, bahkan tak ada Diri lainpun di sampingnya. Sejurus kemudian ia terlihat menatap ke arah birunya langit, begitu pasrah. Memejam sejenak, menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan teramat pelan. Ia coba nikmati dan rasakan dengan sepenuh jiwa indahnya alam, ciptaan Sang Pencipta. Lirih, ia berkata pada dirinya bahwa ia masih punya Dia yang selalu membersamainya. Hiburnya pada dirinya sendiri. Dan! Lihatlah teman, ! ia sepertinya berjalan lagi. Namun kini dengan langkah yang terlihat lebih pasti.

Dalam diam, aku amati ia dari kejauhan. Tidak, teman! Kau salah! Ia tidak sedang diam ataupun mundur. Ia sedang berjuang melawan dirinya, menampik berontak dalam hatinya. Menentang gemuruh dalam raganya. Aku bisa melihat itu, Teman. Dalam dirinya, tengah terjadi pertikaian sengit antara ia dan jiwanya. Aku bisa melihat itu, Teman. Cahaya potensi yang terpendam. Kalau aku boleh menyebutnya mungkin laksana permata dalam kubangan lumpur. Kau kan dapat melihatnya setelah kau mampu bantu dia menyibak lumpur itu. Tapi sepertinya Diri itu belum mengetahuinya,,, Sudahlah! Lupakan dari perspektif mana kalian dan aku melihatnya. Tapi, hampirilah ia. Dan kutau kaupun lebih tau apa yang sedang ia butuhkan.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Syaza Qurratu’ain Maryam :: Malang, 29 Januari 2011 :: 05.58 WIB

0 coment:

Posting Komentar